UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) tidak mengenal istilah “objek berita” atau “subjek berita”. Namun, di dalam Pasal 1 angka 10 UU Pers yang menjelaskan definisi hak tolak terdapat istilah “sumber berita”. Bunyi selengkapnya Pasal 1 angka 10 UU Pers adalah sebagai berikut:
“Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.”
Sedangkan, orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik disebut wartawan menurutPasal 1 angka 4 UU Pers.
Pada dasarnya, UU Pers melindungi baik wartawan sebagai pelaksana kegiatan jurnalistik maupun hal-hal yang menjadi subyek dan obyek pemberitaan. Perlindungan hukum diberikan bagi wartawandalam melaksanakan profesinya (lihat Pasal 8 UU Pers).
Perlindungan terhadap pers ini dijamin melalui Pasal 4 UU Pers yang berbunyi:
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Selain itu, Pasal 18 ayat (1) UU Pers juga memberikan sanksi bagi setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kebebasan pers sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta. Lebih jauh simak artikel jawaban kami Pidana tentang Pers.
Meski demikian, dalam sebuah artikel hukumonline, praktisi hukum Todung Mulya Lubis pernah menegaskan bahwa insan pers tidak memiliki kekebalan hukum. Ia tetap bisa dijadikan subyek hukum. Karena itu, menurut Todung, dalam UU Pers ada satu ketentuan yang diberlakukan tentang tanggung jawab institusi pers dari setiap pemberitaan yang disebar ke wilayah publik yang secara substansi merugikan pihak ketiga, yakni dengan menerapkan hak jawab (Pasal 5 ayat [2]) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3]). Lebih jauh simak artikel Insan Pers Tidak Memiliki Kekebalan Hukum.
Seperti dikatakan Todung, kepentingan pihak yang diberitakan juga telah dilindungi oleh UU Pers.Berbagai perlindungannya antara lain seperti berikut:
1. Perlindungan bagi pihak yang menjadi sumber berita telah diatur dalam hak tolak wartawan. Sehingga, dalam hal pihak yang menjadi sumber pemberitaan merasa keberatan untuk diungkap ke publik identitasnya, wartawan harus merahasiakannya dan menolak untuk mengungkapkannya (Pasal 1 angka 10).
2. Dalam Hak Jawab juga diatur bahwa seseorang atau sekelompok orang mempunyai hak untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 angka 11).
3. Dalam Hak Koreksi dilindungi hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 angka 12).
4. Wartawan juga mempunyai kewajiban melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan (Pasal 1 angka 13).
5. Setiap wartawan harus menjalankan profesinya sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik yang merupakan himpunan etika profesi kewartawanan (Pasal 1 angka 14).
6. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat [1]).
7. Pers wajib melayani Hak Jawab (Pasal 5 ayat [2]).
8. Pers wajib melayani Hak Koreksi (Pasal 5 ayat [3]).
9. Perusahaan pers dilarang memuat iklan (Pasal 13):
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Di sisi lain, dalam rangka meningkatkan peran masyarakat terkait dengan kemerdekaan pers dan hak memperoleh informasi, masyarakat juga dapat melakukan kegiatan yang berupa (Pasal 17 ayat [2] UU Pers):
a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas Pers nasional.
Dalam Pasal 18 juga ditentukan pula sanksi bagi perusahaan pers yang menolak melayani hak jawab, hak koreksi dan melanggar Pasal 13 UU Pers yaitu dipidana denda paling banyak Rp500 juta. Dan perusahaan pers yang tidak berbentuk badan hukum, tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan, maka perusahaan pers tersebut dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta.
Jadi, sebenarnya UU Pers tidak hanya melindungi wartawan atau insan pers, akan tetapi juga melindungi pihak-pihak yang menjadi bahan pemberitaan maupun pihak yang menjadi sumber berita.
Mengenai ide revisi terhadap UU Pers memang pernah diusulkan pada 2007 silam oleh Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu yakni Sofyan A. Djalil. Namun, rencana tersebut mendapat penolakan dari Dewan Pers dan kalangan media (simak Revisi UU Pers Rewind ke Masa Orde Baru). Setelah itu, ide revisi UU Pers tak terdengar lagi kelanjutannya. Anggara anggotaInternational Media Lawyers Association (IMLA) juga pernah membuat catatan kritis tentang draf revisi UU Pers dalam tulisan yang berjudul Menyoal RUU Perubahan Undang-Undang Pers.
Sumber berita :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar