Praktisi hukum Todung Mulya Lubis menegaskan bahwa insan pers tidak memiliki kekebalan hukum. Ia juga bisa dijadikan subyek hukum. Todung juga menyatakan bahwa dalam era kebebasan pers seperti sekarang ini, ada semacam kegamangan yang menyelimuti dunia pers.
Todung melihat, kebebasan yang diberikan sudah masuk perangkap kebablasan. Menurutnya, seringkali pers tidak bisa membedakan mana yang harus didahulukan, freedom of the press atau individual's right for privacy?
Karena itu, masih menurut Todung, dalam UU No 40 tahun 1999 tentang pers ada satu ketentuan yang diberlakukan tentang tanggung jawab institusi pers dari setiap pemberitaan yang disebar ke wilayah publik yang secara substansi merugikan pihak ketiga, yakni dengan menerapkan hak jawab (Pasal 5 ayat 2) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat 3).
Dalam Diskusi Panel "Pelanggaran Hukum oleh Pers dan Pertanggungjawaban Hukumnya" di Jakarta pada 7 Februari 2001, Todung mengatakan bahwa tidak ada aturan yang baku dalam perusahaan pers jika perusahaan pers dipersalahkan oleh pengadilan dan dihukum untuk membayar ganti rugi.
Namun menurut Todung, semua pertanggungjawaban perusahaan pers yang berkaitan dengan pemberitaan ada di pundak penanggungjawab umum. Hal ini tertuang secara jelas pada UU No. 11 tahun 1966 jo UU No. 4 jo UU No 21 Tahun 1982 Pasal 15 yang berbunyi: "Pemimpin umum bertanggungjawab atas seluruh penerbitan, baik ke dalam maupun ke luar".
UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers Pasal 12 menyebutkan bahwa penerbitan pers wajib mengumumkan nama penangungjawab secara terbuka dalam media bersangkutan. Yang dimaksud dengan penangungjawab adalah penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang-bidang usaha dan redaksi.
Media watch
Sementara itu pengamat pers Atmakusumah Astraatmadja menekankan pentingnya pembentukan media watch. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) ini, saat ini sudah ada sekitar 25 media watchyang didirikan di 10 kota di Indonesia.
Selain itu, juga ada ombudsman pers. Atmakusumah mencontohkan di AS atau Jepang, ombudsman pers dipekerjakan oleh perusahaan pers secara independen melakukan otokritik dan otokoreksi. Padahal di AS sendiri hanya 32 dari 1.500 surat kabar harian yang mempekerjakan ombudsman. Di Indonesia sendiri sudah ada dua surat kabar yang mempunyai tim ombudsman yaitu Jawa pos di Surabaya dan Kompas di Jakarta.
Atma juga menekankan pentingnya dewan pers. Ia mencontohkan, di Australia Pers Council berhasil menyelesaikan sampai 75% kasus gugatan masyarakat terhadap pemberitaan pers yang dianggap merugikan mereka dengan keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Bahkan di Inggris, Pers ComplainCommision dapat menyelesaikan sampai 87% kasus serupa. Selebihnya, diselesaikan melalui pengadilan.
Ketiga lembaga itu terutama berfungsi untuk mengawasi penggunaan standar yang lazim di media pers dalam penyajian karya jurnalistik. Mereka juga mengawasi penataan media pers dan wartawan terhadap etika pers. Dalam hal ombudsman pers dan dewan pers, fungsinya ditambah dengan menyelesaikan kasus gugatan atau pengaduan masyarakat terhadap sajian pers yang dianggap merugikan mereka.
Atma juga mengaku risau terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) di mana bukan hanya pembuat iklan yang bisa dipidana, tapi juga pemasang iklan. Menurutnya, tidak adil kalau surat kabar harus mencermati setiap iklan yang masuk.
Selain itu menurutnya, ada sepuluh atau sebelas undang-undang yang pasal-pasalnya dapat menelikung pers. Dan ada sekitar 42 pasal yang dapat membawa pers ke pengadilan, bahkan menghukum wartawannya selama enam sampai tujuh tahun penjara. Ini tentu peringatan bagi wartawan agar tidak sembarang membuat berita.
Sumber Berita :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar